Corat-Coret Awali Terjun Menulis


Sekitar tahun 2007, saat itu aku mahasiswa semester satu di sebuah sekolah tinggi teologi di Jakarta. Dalam beberapa kesempatan seusai kuliah saya sempatkan diri main ke ruang Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).

Di sana mataku tertuju pada tumpukan makalah, dugaanku itu milik pengurus BEM. Benar! Awalnya hanya ingin belajar bagaimana membuat makalah. Maklum masih mahasiswa semester satu. Perlu tahu cara dan pola pembuatan makalah di kampus ini. Ya, nyotek punya kakak tingkat akan lebih mudah.

Corat Coret Makalah Milik Senior

Asyik membaca dan membolak-balik untuk mempelajari format penyusunan makalah, naluriku menggerakkan untuk mengambil pulpen dan mencorat-coret kata-kata dari kalimat-kalimat dalam makalah itu.

Entah keberanian macam apa, saat itu dengan percaya diri aku mencoret kata-kata yang menurutku tak sesuai karena membaca kalimat itu serasa tak jelas. Dengan kata lain, kalimat itu sulit dipahami dan kurang enak didengar kalau dibacakan.

Tanpa niat untuk merendahkan penulis makalah tersebut. Aku mengalir saja melakukannya. Dan pikirku, makalah ini sudah tak dipedulikan lagi sebab sudah dinilai. Tapi aku tak peduli dengan nilainya, sebab seperti diawal kukatakan, hanya ingin mempelajari pola atau format pembuatan makalah saja. Hampir setiap kali ke ruang BEM corat-coret makalah jadi kerjaku.

Sampai pada suatu kesempatan saat selesai kuliah aku dipanggil Ketua BEM. Di tangannya nampak memegang makalah yang kuduga salah satu makalah yang  kucorat-coret. Beliau mengajakku ke ruang BEM dan mempersilakanku duduk di depan mejanya. Kami duduk berhadap terpisah meja kerjanya.

Ketahuan Si Pemilik Makalah

Benar saja. Beliau membuka makalah itu, dengan muka serius nampak sedikit marah. Lalu berkata, siapa yang corat-coret makalah ini adik? Nadanya meninggi. Saya tegang mendengar, jantungku berdebar rasa takut menyergapku. Tak mampu diriku melawan. Diam! Tertunduk. Lesu. Serasa kelu seperti domba di tengah serigala.

“Gak apa-apa adik,” kata ketua BEM. Tiba-tiba memecah suasana.

Sedikit lega kurasa, tapi aku bingung. Bagaimana mungkin beliau tidak lagi segarang tadi, apalagi sudah jelas beliau tahu aku pelakunya.

“Gak apa-apa adik, tulisan saya jadi bagus setelah saya baca mengikuti coretan adik,” lanjutnya.

Sesaat saya terdiam sembari menatapnya dengan wajah sedikit cerah.

Buru-buru kuucap, “maaf kak, aku sudah lancang mencorat-coret makalah-makalah itu, yang beberapa diantaranya punya kakak.”

Dengan wajah penuh penyesalan, “Sekali lagi aku minta maaf kak, aku hanya iseng mengikuti naluriku berdasarkan pengetahuanku. Jadilah coretan di makalah-makalah itu. maaf ya kak”.

“Ya dik, kakak maafkan, tapi kamu punya potensi ni,” terangnya.

“Terima kasih kak,” kataku. Lalu…


Foto: Sudi Berkat Lase, S.Pd.K., _ Dokpri

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url