Rahasia di Hulu Sungai Momaluh

Sumber: Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan DALL·E, AI generator dari OpenAI.

Sungai Momaluh yang tenang dan berliku-liku menyimpan cerita yang tak semua orang tahu. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, Kunum akhirnya memutuskan untuk kembali mengunjungi kerabatnya di pedalaman hulu sungai. Perjalanan panjang menembus derasnya arus sungai dan rimbunnya hutan membuat tubuhnya lelah. Namun, rindu yang menggebu mengalahkan segalanya.

Setelah sekian lama tak berkunjung, Kunum memutuskan untuk menemui kerabatnya yang bermukim di hulu sungai. Hampir seharian ia habiskan naik perahu, mendayung sampan menelusuri arus Momaluh. Tibalah Kunum di tempat tujuannya, Dukuh Momaluh Juoi—sebuah kampung kecil di hulu Sungai Momaluh. Hanya ada beberapa keluarga yang tinggal menetap di sana.

Setelah turun dari perahu, Kunum mengikatkan sampannya pada batang pohon kocuhui.  

"Uuhh... uui," teriak Kunum dari pinggir sungai.  

"Ooii... arok kai rih," terdengar sahutan dari daratan, yang artinya, "ada kami, kami banyak."

Beberapa orang turun menghampiri. Mereka menyapa dengan kegirangan. Kunum memeluk erat dan menggendong seorang putra kecil yang menggemaskan. Beberapa orang turut memeluk dan mengerumuni Kunum. Namun, sesaat kemudian, Kunum mencium bau anyir yang menyeruak, menusuk hidung.

"Tunggu sebentar. Saya mau cuci muka dulu. Biar lebih segar. Maklum, dari pagi sampai sore begini belum mandi," ucap Kunum sambil tertawa. Kerabat-kerabatnya pun ikut tertawa lepas dan membiarkan Kunum sejenak mencuci muka.

"Mungkin karena seharian belum mandi, makanya badanku jadi bau tak sedap begini," pikir Kunum. Setelah mencuci muka, tangan, dan kaki, Kunum mengikuti kerabatnya naik ke daratan. Mereka berjalan beriringan menuju kampung kecil. Kehangatan itu terasa nyata, tapi ada sesuatu yang ganjil di balik senyum kerabat-kerabatnya.

Saat berjalan menuju perkampungan, mata Kunum menangkap pemandangan yang membuat bulu kuduknya berdiri. Orang-orang memungut serangga dan binatang liar yang biasa dihindari, seolah-olah benda-benda itu adalah harta berharga. Ada teka-teki yang belum terjawab, dan perasaan tidak nyaman mulai merayapi benaknya.

Di tengah perjalanan, Kunum melihat sesuatu yang tak lazim. Beberapa orang memungut ulat bulu, lintah darat, cacing, laba-laba, dan beragam jenis serangga yang tergolong ekstrem dan berbahaya. "Ini pasti untuk pakan hewan piaraan mereka di rumah," pikir Kunum.

"Ah… tapi buat apa memelihara hewan? Bukankah di sini hutan belantara? Habitatnya beraneka ragam hewan. Semua tersedia dan tercukupi di sini. Setiap hari bisa menyaksikan hewan liar hidup bebas. Mengapa harus repot-repot memelihara hewan lagi?"

"Tapi… kalau hewan piaraan seperti babi, sapi, anjing, kucing, ayam, mana mungkin. Kalaupun pelihara ayam, tidak perlu dicarikan makanan seperti itu. Ayam dilepas saja bisa cari makan sendiri. Banyak serangga dan bulir-bulir padi berjatuhan di ladang. Apa mungkin, ada anak-anak yang punya peliharaan hewan liar? Biasanya anak-anak suka hewan hingga ingin memeliharanya," pikiran Kunum berkelana tak menentu.

"Kita sudah sampai di rumah Paman!" sorak salah seorang anak kecil, membuyarkan pikiran Kunum yang sedang kacau. Kunum disambut hangat oleh keluarga. Sambil duduk santai, mereka menyeruput kopi panas. Kunum berusaha tetap tenang, meskipun firasatnya berkata, "Ada sesuatu yang tidak beres."

"Kopinya masih sangat panas. Malek-malek kiak holuk," kata Kunum sambil mencelupkan ujung jarinya ke kopi sebagai tanda menghindari kampunan dalam tradisi orang Uud Danum. Ia sengaja menunda, tidak mau terburu-buru makan dan minum sebelum memastikan banyak kejanggalan yang terjadi.

Meskipun perutnya mulai terasa lapar, terlebih melihat banyak buah-buahan hutan yang sangat menggiurkan, Kunum tetap berhati-hati. Di tengah kepulan asap kopi panas yang mengepul di udara, ia hanya bisa tersenyum samar. Di balik keramahan dan kehangatan itu, nalurinya berkata, "Ada sesuatu yang tidak beres."


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url