Bayang-Bayang Cinta di Kampus

Pagi itu, udara di kampus terasa segar. Rendi melangkah pelan di trotoar menuju gedung kuliah. Ketika memasuki area kampus, terdengar riuh mahasiswa yang bergegas ke kelas. Deru motor yang keluar-masuk parkiran, hingga hiruk-pikuk obrolan mahasiswa.

Di tengah suasana ramai itu, pandangan Rendi seolah tertarik pada satu sudut lapangan terbuka, tempat sekelompok mahasiswa berkumpul. Matanya tanpa sadar mencari sosok yang belakangan ini selalu menyita perhatiannya.

Marcel, kakak tingkat yang sering terlihat berbeda dari keramaian. Entah apa sebabnya, ada sesuatu pada Marcel yang membuat Rendi ingin memperhatikannya. Meski ia sendiri belum bisa menjelaskan alasan pastinya.

Sesekali, Rendi melirik ke arah lapangan terbuka tempat para mahasiswa berkumpul. Di antara keramaian itu, sosok Marcel selalu saja berhasil mencuri perhatiannya.

Meski penampilan Marcel jauh dari kata sempurna, badan kurus, kulit gelap, rambut gondrong yang acak-acakan, entah mengapa, ia seolah menjadi pusat perhatian. Hal itu menimbulkan tanya di benak Rendi, “Kenapa dia bisa terlihat begitu menonjol di tengah keramaian ini?”

“Apa sih rahasianya?” gumam Rendi dalam hati. Jari-jarinya tanpa sadar memilin gelang karet di pergelangan tangannya. Marcel, dengan rambut keriting acak-acakan dan gaya santainya, seolah tak pernah berusaha memikat siapa pun. Tapi entah bagaimana, ia selalu jadi pusat perhatian.

Rendi menarik napas panjang, mencoba menepis rasa iri yang perlahan menggerogoti. Di sudut kampus, dekat pohon yang rindang, ia melihat Marcel berjalan bersama Ririn. Gadis yang senyumnya mampu membuat dunia seolah berhenti sejenak. Ririn, dengan kelembutan dan pesona alaminya, adalah mimpi setiap mahasiswa, termasuk Rendi. 

“Kenapa harus dia?” bisik Rendi pelan, tatapannya mengikuti langkah mereka yang serasi. Marcel bukanlah sosok sempurna, badannya kurus, kulitnya gelap, tapi ada cahaya dalam dirinya yang Rendi tak bisa mengerti. Mungkin itu kepercayaan diri, atau keberanian untuk menjadi dirinya sendiri. Yang jelas, Rendi tahu, di lubuk hatinya, ia ingin lebih dari sekadar mengagumi dari kejauhan, ia ingin menjadi seperti Marcel, atau bahkan melampaui pesonanya.

Di sela langkahnya menuju fakultas, Rendi sering mendapati dirinya diam-diam membandingkan hidupnya dengan Marcel. Bukan karena kagum, melainkan karena rasa iri yang menyesakkan dada. Betapa tidak, Marcel yang tampak apa adanya itu justru berhasil menaklukkan hati Ririn, mahasiswi cantik dan bersahaja yang diam-diam selalu menjadi idaman Rendi. Setiap kali melihat mereka berjalan bersama di koridor kampus, Rendi hanya bisa menunduk, menahan perasaan yang campur aduk antara kagum dan kecewa. Dalam hatinya, ia berbisik lirih, “Andai aku bisa jadi dia…”

Setiap kali melangkah ke kampus, Rendi selalu diliputi rasa takjub yang sulit dijelaskan. Pandangannya sering tertuju pada Marcel, kakak tingkatnya yang entah mengapa begitu menarik perhatian. Dalam benaknya, Rendi bertanya-tanya, “Apa istimewanya Marcel?” Secara fisik, Marcel biasa saja. Bahkan, banyak kekurangannya. Badannya kurus, kulitnya gelap, rambutnya keriting dan panjang, nyaris acak-acakan.

“Benar, apa sih yang bikin dia beda?” gumam Rendi sambil menggelengkan kepala, tangannya memainkan gelang karet di pergelangan tangan. Namun, di lubuk hatinya, ia tahu jawabannya, Rendi iri. 

Ia ingin seperti Marcel, yang entah bagaimana bisa menaklukkan hati Ririn, gadis cantik nan baik hati yang menjadi pacarnya. Rendi bermimpi punya pacar seperti Ririn, seseorang yang memancarkan pesona dan kelembutan.

Sesekali, dari kejauhan, Rendi mencuri pandang ke arah Marcel. Ia memperhatikan caranya berjalan, tertawa, atau berbicara dengan teman-temannya. Ada sesuatu dalam diri Marcel yang membuat Rendi penasaran, sekaligus merasa kecil. “Kalau aku bisa tahu rahasianya, mungkin aku juga bisa dapat pacar idaman,” pikirnya, bertekad mencari tahu.

Suatu hari, keberanian tiba-tiba menyelinap di hati Rendi. Ia tahu, ini saatnya mendekati Marcel dan mengorek rahasia di balik pesonanya. Namun, bagaimana caranya? Rendi bingung, otaknya berputar mencari alasan untuk memulai percakapan tanpa terlihat canggung. Beruntung, kesempatan emas itu datang saat mereka tergabung dalam satu tim di pertandingan basket antarfakultas. Di sela-sela latihan, dengan jantung yang berdegup kencang, Rendi memberanikan diri mendekati Marcel.

“Kak, boleh nanya sesuatu nggak? Tapi, maaf ya, ini agak pribadi,” kata Rendi, suaranya sedikit gemetar saat berdiri di hadapan kakak tingkatnya itu. Marcel, yang sedang memainkan bola basket di tangannya, menoleh dengan santai. “Boleh, mau nanya apa?” jawabnya sambil tersenyum, seolah tak merasakan ketegangan yang melanda Rendi.

“Ehm, tapi, kita ngobrol di sana aja gimana, Kak?” Rendi menunjuk ke arah kafe kecil di dekat kampus, berharap suasana yang lebih santai bisa membuatnya lebih nyaman. Marcel mengangguk. “Boleh, kebetulan aku juga udah nggak ada kegiatan kampus. Sekalian beli minuman,” katanya sambil menyampirkan tas ransel ke pundaknya. Mereka pun melangkah bersama menuju kafe, langkah Rendi sedikit gugup, tapi penuh harap.

Di kafe, setelah memesan minuman dan mendapatkan tempat duduk di sudut yang nyaman, Marcel memecah keheningan. “Eh, bro, tadi kamu bilang mau nanya sesuatu. Apa sih?” tanyanya sambil menyeruput es teh di depannya. Rendi menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Ehm, Kak Marcel, kok bisa sih punya pacar secantik dan sebaik Ririn? Apa rahasianya?” tanyanya, wajahnya memerah karena malu.

Marcel tersenyum lebar, hampir tertawa. “Mau tahu caranya? Beneran nih?” tanyanya, seolah menggoda. Rendi mengangguk penuh semangat. “Oke, oke, tapi sebelum aku kasih tahu, kamu ceritain dulu, siapa sih cewek yang lagi kamu incer? Seperti apa dia?”

Beberapa minggu berlalu. Rendi kembali mendatangi Marcel di lapangan basket, kali ini dengan wajah penuh keyakinan. “Kak, itu dia cewek incaran aku!” katanya sambil menunjuk ke arah seorang gadis berambut panjang yang mengenakan kemeja putih, sedang berjalan di koridor kampus. Marcel memicingkan mata, memperhatikan gadis itu. “Ha? Serius, bro? Anak baru itu?” tanyanya, alisnya terangkat.

“Iya, serius!” jawab Rendi, nadanya mantap. Ia yakin dengan wajahnya yang cukup tampan, pantas mendapatkan gadis pujaan hatinya. Marcel mengangguk, lalu berkata, “Oke, kalau gitu, mulai sekarang kamu selidiki dulu dia. Cari tahu kebiasaannya, apa yang dia suka, ke mana dia biasa pergi. Kalau perlu, buntuti dia, tapi jangan buru-buru nembak sebelum kamu benar-benar tahu siapa dia, oke?” Rendi tersenyum lebar, merasa seperti mendapat peta harta karun. “Oke, siap, Kak!” katanya, semangatnya membuncah.

Hari itu, Rendi memulai “misi”nya. Ia duduk di sebuah warung kopi kecil, tepat di seberang rumah gadis incarannya. Sambil menyeruput kopi hitam, matanya tak lepas dari pintu rumah itu. Setelah beberapa jam menunggu dengan sabar, akhirnya seorang ibu paruh baya keluar dari rumah. “Nah, itu pasti calon mertuaku,” bisik Rendi sambil tersenyum sendiri, hayalannya sudah melayang jauh. Tak lama kemudian, gadis incarannya muncul, berjalan beriringan dengan ibunya menuju sebuah mobil yang terparkir di halaman.

Tanpa buang waktu, Rendi melompat ke motornya dan mengikuti mobil itu dari jarak aman. Mobil itu menuju sebuah mal ternama di kota. Di dalam mal, Rendi diam-diam mengamati gadis itu berbelanja. Penasaran, ia menyelinap ke toko pakaian yang baru saja didatangi gadis itu dan melihat harga pakaian yang dibelinya. Matanya membelalak, harganya fantastis! Rendi buru-buru keluar dari toko, takut ketahuan, jantungnya masih berdegup kencang.

Perjalanan gadis itu belum berakhir. Bersama ibunya, ia menuju sebuah salon mewah. Rendi, yang masih penasaran, membuntuti mereka hingga ke depan salon. Ketika gadis itu keluar dengan rambut yang tampak lebih berkilau, Rendi menyelinap masuk, berpura-pura tertarik pada layanan salon. Diam-diam, ia melirik daftar harga perawatan, dari ujung kaki hingga ujung rambut. Angkanya membuatnya tersentak. “Ini sih bukan perawatan, ini investasi!” gumamnya, kepalanya pusing membayangkan biaya yang begitu mentereng.

Malam itu, Rendi pulang dengan langkah gontai. Semangatnya yang tadinya membara kini meredup, digantikan rasa lelah dan putus asa. Esok harinya, ia menemui Marcel dengan wajah muram. “Halo, bro! Apa kabar cewek incaranmu? Sudah ada progres?” tanya Marcel, nadanya ceria. Rendi menggeleng lemah. “Sudahlah, Kak. Aku menyerah. Mulai sekarang, aku nggak akan ngarepin cewek cantik, apalagi yang berkulit putih.”

Marcel mengerutkan kening, bingung. “Hah? Maksudmu apa? Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?” Rendi pun menceritakan semuanya, bagaimana ia berminggu-minggu membuntuti gadis incarannya, mengamati gaya hidupnya yang glamor, belanja di mal mewah, hingga perawatan di salon dengan harga selangit. “Aku nggak sanggup, Kak. Gaya hidupnya mahal banget. Belum lagi biaya perawatan di salon itu,” keluh Rendi sambil menggeleng-geleng kepala.

Marcel tertawa terbahak-bahak hingga hampir tersedak minumannya. “Astaga, bro! Kukira apa! Ya iyalah, cewek kayak gitu kamu incar tanpa mikir-mikir dulu!” katanya, masih terkekeh. Ia menepuk bahu Rendi, lalu menatapnya dengan serius. “Dengar, bro, aku kasih tahu rahasia sesungguhnya, pria tampan bisa dikalahkan oleh pria mapan. Jadi, kalau mau menang, fokuslah jadi versi terbaik dari dirimu sendiri, bukan cuma ngarepin yang instan.”

Rendi hanya mengangguk lemas, wajahnya masih muram. Namun, di balik kekecewaannya, ada secercah pelajaran baru yang mulai meresap di hatinya. Mungkin, perjalanan menuju cinta tak semudah yang ia bayangkan, tapi setidaknya, ia kini tahu, jalan itu dimulai dari memahami dirinya sendiri.


Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url