Aku vs AI: Refleksi dari Pedalaman
Pada tahun 2012, aku begitu menikmati menonton YouTube. Film action, perang, perkelahian, dan tentu saja seri Rambo menjadi favoritku. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar, terpukau oleh aksi-aksi heroik.
Namun, setelah 2012, aku mulai melupakan YouTube. Bukan berarti aku tak pernah menonton lagi, tapi aku jarang membukanya. Aku tinggal di kampung terpencil, tempat sinyal sulit didapat, mengisi daya ponsel saja susah, kuota internet terbatas, dan akses keuangan pun penuh kendala.
Tanpa terasa, tahun 2025 tiba. Aku seperti terbangun dari tidur siang yang panjang. Jantungku berdetak cepat, dan pikiranku seolah berteriak,
Waktunya Aku Bangun!
Aku terkejut, setengah sadar, dan merasa asing. Ada sesuatu yang disebut orang-orang sebagai AI, dan entah kenapa, aku merasa tersaingi. Aku duduk melamun, bertanya dalam hati, bagaimana aku bisa merasa seperti ini di kampung terpencil? Bukankah aku jauh dari kota? Tapi arus teknologi yang semakin canggih seolah mengejar hingga ke pedalaman ini, membuatku merasa seperti terperangkap dalam Gua Plato.
Aku cemas memikirkan AI, tapi di sisi lain, aku juga kagum. Aku bisa bertanya apa saja pada AI, dan jawabannya detail, akurat, lengkap dengan sumber data. Namun, setelah membaca jawabannya, ada rasa kosong, hambar, meskipun aku tahu itu benar. Apa yang membuatku cemas? Apakah karena aku merasa tersaingi? Atau karena aku tak punya keahlian untuk memahami teknologi ini? Mungkin pikiranku hanya berhalusinasi, tapi kecemasan ini nyata di dadaku.
Aku bertanya-tanya, adakah orang lain yang merasa seperti aku? Aku tahu, di luar sana, orang-orang memanfaatkan AI dengan baik untuk usaha, bisnis, dan pelajaran mereka. Mereka tak cemas seperti aku. Tapi aku kembali pada diriku sendiri, merenung, mencoba memahami kekosongan ini.
Siapa pun kamu, coba berhenti sejenak. Pikirkan, zaman telah membawa kita begitu jauh. Saat cemas, kita sering buru-buru mengambil ponsel, mencari hiburan untuk meredakan kegelisahan. Tapi itu bukan obat, hanya pereda sesaat.
Saat menulis ini, aku membaca ulang, merenung, dan bertanya: apakah AI benar-benar memudahkan hidup kita? Atau justru membuatnya hambar, seperti masakan tanpa garam? Kita terbiasa dengan kemudahan, dengan jawaban instan dari AI, lengkap dengan sumbernya. Tapi di sisi lain, aku cemas: apakah suatu saat AI bisa memanipulasi kita sebagai manusia? Silakan kita pikirkan bersama.
Penulis: Rambo Limamak