Langkah Kecil dari Tamakung


Riski duduk termenung di teras rumah kayu sederhana di Desa Tamakung. Langit senja di pedalaman Kalimantan Barat berwarna oranye keemasan, seolah melukiskan harapan di ujung horizon. Hatinya diliputi keraguan, bercampur tekad yang terus ia pupuk sejak duduk di semester akhir kelas 12 di SMA Negeri 1 Serawai.  

“Lulus nanti, aku mau jadi apa?” pertanyaan itu terus menggema di benaknya, terutama saat guru di kelas membahas cita-cita. Teman-temannya dengan antusias menyebutkan rencana mereka. Menjadi perawat, melanjutkan kuliah, atau mengelola usaha keluarga. Namun Riski? Ia hanya diam, pikirannya terbagi antara impian menjadi polisi atau melanjutkan kuliah.  

Semenjak pandemi, hidup keluarga Riski berubah drastis. Ayahnya, yang dulunya bekerja di perusahaan kayu, kehilangan pekerjaan akibat dampak ekonomi global. Sejak itu, perekonomian keluarga mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Melihat keadaan ini, Riski sadar bahwa impian besar membutuhkan pengorbanan besar pula.  

Selepas kelulusan, ia memutuskan mengambil *gap year*. Ia bekerja serabutan, mulai dari mengangkut barang hingga menyusun balok kayu di toko-toko setempat. Setiap malam, ia menghitung upah harian yang dikumpulkan, berharap cukup untuk membiayai langkahnya ke perguruan tinggi. Namun, kenyataan sering kali mengecewakan. Uangnya lebih banyak habis untuk kebutuhan mendesak daripada terkumpul sebagai tabungan.  

Di tengah keterbatasan, Riski mendapati pelipur lara melalui pelayanan gereja. Ia sering menemani Vikaris Pendeta berkunjung ke jemaat di desa-desa terpencil. Perjalanan itu mengajarkannya arti kesederhanaan dan pengorbanan. Riski mulai berpikir, apakah pelayanannya ini adalah jalan hidup yang harus ia ambil?  

Suatu hari, Vikaris Pendeta menunjukkan sebuah poster kepadanya. “Riski, ini program beasiswa dari Universitas Pelita Harapan. Kau harus mencobanya,” katanya sambil tersenyum penuh harap.  

Riski tertegun. Program itu menawarkan pendidikan penuh dengan ikatan dinas. Ia tahu ini adalah kesempatan langka, tapi keraguan kembali menyelimuti. Bisakah ia bersaing dengan pelamar lain dari seluruh Indonesia?  

Namun, harapan kecil di hati Riski tidak memudar. Dengan doa dan persiapan, ia mendaftar pada gelombang pertama di Oktober 2022. Ujian demi ujian ia lewati, dari tes masuk hingga wawancara. Setiap malam, ia berdoa, memohon kekuatan untuk melewati proses panjang itu.  

Hari yang dinantikan tiba. Sebuah email masuk ke kotak suratnya. Dengan tangan bergetar, ia membukanya. “Selamat, Anda diterima sebagai mahasiswa Teachers College Universitas Pelita Harapan.” Air mata haru menetes di pipinya.  

Persiapan menuju Tangerang menjadi babak baru dalam perjalanan hidup Riski. Di tengah kekhawatiran tentang lingkungan baru, ibunya tiba-tiba teringat sepupu yang tinggal di Tangerang. Dengan penuh syukur, mereka menemukan keluarga yang tidak hanya menyambut, tetapi juga memberikan dukungan moral bagi Riski.  

Ketika akhirnya Riski menginjakkan kaki di kampus, ia menatap gedung-gedung tinggi dengan hati penuh syukur. Langkah kecil dari Tamakung telah membawanya ke sini. Ia berjanji pada dirinya sendiri, langkah ini hanyalah awal dari perjalanan panjang untuk menggapai mimpi dan menjadi berkat bagi banyak orang.  

"Setiap perjalanan besar dimulai dari langkah kecil," pikir Riski. "Dan langkah kecilku dimulai dari Tamakung."

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url